Jumat, 20 Mei 2011

MANAJEMEN PEMBIAYAAN SEKOLAH

STANDAR MANAJEMEN PEMBIAYAAN
HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
Oleh : ZainulHakim, S.EI
Komite Sekolah SMP Plus Darus Sholah Jember
A.    Muqoddimah
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sekolah sudah menjadi hal yang umum dibicarakan, baik di negara maju maupun negara berkembang.  Dalam teori pengembangan sekolah di era desentralisasi, ada tiga segitiga stakeholder yang harus dibangun, yaitu kerjasama sekolah, orang tua dan masyarakat.
Partisipasi masyarakat seakan menjadi kata kunci untuk memecahkan masalah di sekolah. Pemerintah di negara manapun, dengan dalih mengembalikan lembaga sekolah kepada pemilik utamanya yaitu masyarakat, menggembar-gemborkan ide ini.  Tapi sebenarnya ada sebuah misi utama dibalik propaganda ini, yaitu meringankan beban keuangan pemerintah dengan mengajak masyarakat untuk menyediakan dana lebih dalam pengembangan sekolah.
Amerika dan beberapa negara pengusung konsep SBM (School Based Management) yang menjadi titik awal keterlibatan masyarakat di sekolah, tegas menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat adalah dalam bentuk pengembangan finansial, kurikulum dan personalia.  Dalam hal ini masyarakat menjadi penentu keberhasilan sekolah, demikian pula masa depan guru dan tenaga administrator sekolah.
Pola partisipasi masyarakat dalam pengembangan sekolah di Indonesia : Untuk menjalankan fungsi advisory, supporting, monitoring, mediatoring,
Partisipasi masyarakat sangat penting dalam mereformasi sistem pendidikan yang sentralistik menjadi sistem pendidikan yang desentralisasi dan demokratis. Sistem yang disebutkan terakhir memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan berperan serta dalam mengontrol sistem pendidikan yang ada. Masyarakat tanpa mengenal perbedaan warna kulit dapat menyampaikan aspirasinya melalui wakilnya yang duduk dalam dewan pendidikan atau komite sekolah yang telah terbentuk, dan sedapat mungkin mengakomodir keinginan masyarakat khususnya dalam pengambilan kebijakan sistem pendidikan.
B.     Standart Manajemen Pembiayaan Hubungan Sekolah Dan Masyarakat

1.      Masyarakat Sebagai Sumber Pembiayaan Pendidikan
Diantara peran dan fungsi masyarakat adalah bahwa masyarakat adalah salah satu sumber pendapatan atau pembiayaan sekolah. Berdasarkan buku pedoman rencana, program dan penganggaran, sumber dana pendidikan yang dapat dikembangkan dalam anggaran belanja sekolah antara lain meliputi anggaran rutin, anggaran pembangunan , dana penunjang pendidikan, dana masyarakat; donator dan lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak.[1]
Dan pada dasaranya sumber keuangan atau pembiayaan pada suatau sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga sumber, yaitu:
1.      Pemerintah
2.      Orang tua
3.      Masyarakat, baik mengikat maupun tidak[2]

2.      Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan dan Pembiayaannya
Hubungan antara sekolah dan masyarakat adalah sebuah proses komunikasi anatara sekolah dengan masyarakat yang mempunyai maksud dalam usaha memajukan sekolah. Sehingga sekolah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut berperan serta dalam pendidikan.


Dasar hukum pentingnya peran serta masyarakat dalam pendidikan, termaktub dalam pasal 54 UU Sisidiknas. Dan keikutsertaan masyarakat dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan,[3]
Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat dan penyelenggara pendidikan untuk berpartisipasi dengan lebih nyata. Masyarakat bukan lagi hanya menjadi subyek yang pasif  akan tetapi menjadi subyek aktif dalam keseluruhan sistem pendidikan dengan ikut menentukan arah dan kebijakan, merumuskan strategis, sasaran, dan tujuan pendidikan serta ikut terlibat aktif dalam pelaksanaannya. Strategi dasar yang ditempuh dalam pendidikan adalah dengan melalui peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga pendidikan, sebab pada prinsipnya lembaga pendidikan merupakan jantung dan ujung tombak penyeleggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan harus menjadi wadah yang menyenangkan bagi peserta didik, sehingga mereka merasa nyaman yang berdampak pada prestasi belajarnya dan juga berpengaruh terhadap mutu alumni.
Untuk merealisasikan tujuan pendidikan secara nasional dapat dilakukan melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokratisasi pendidikan, perlu adanya peran serta dan kontrol masyarakat secara optimal. Dukungan dan peran serta maupun kontrol masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan melalui suatu wadah yang dinamakan Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah .
Dewan pendidikan atau Komite Sekolah merupakan badan yang mewakili peran serta masyarakat dalam mengontrol peningkatan mutu, pemerataan, efisiensi, dan pengelolaan pendidikan. Dewan pendidikan bersifat mandiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki dengan lembaga pemerintahan. Anggota terdiri dari orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap jalannya pembangunan di bidang pendidikan dan dari mereka diharapkan dapat mewadahi dan meyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dan program pendidikan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, merencanakan program pendidikan, meningkatkan rasa tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh komponen masyarakat dalam pengelolaan pendidikan, menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan agar masyarakat mendapat layanan pendidikan yang bermutu.
Adapun pembiayaan dari semua aktivitas peran serta masyarakat yang meliputi antara lain perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan tersebut, adalah di sinergikan dengan anggaran belanja dalam RAPBS institusi pendidikkan apabila terkait langsung dengan program intitusi. Namun kegiatan  yang bersifat program masyarakat sendiri atau Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah  secara tidak langsung dalam rangka kepentingan pendidikan yang dimaksud adalah dengan mengalokasikan sendiri anggarannya diluar RAPBS yang biayanya bias didapat langsung dari masyarakat.
3.      Peran  Humas Standart Pembiayaannya
Berbicara mengenai humas dalam lembaga pendidikan, dewasa ini masih kurang sekali difungsikan oleh masing-masing lembaga sekolah. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh para pengelola atau pelaksana dalam sekolah tersebut. Terutama ini banyak di lakukan oleh sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan pemerintah, mulai dari level SD sampai SMA. Kecuali di level universitas, sudah ada staf atau petugas sendiri untuk bagian humas atau PR. Memang untuk lembaga pendidikan swasta atau dibawah naungan yayasan tertentu sudah mulai digunakan cara-cara ke-humas-an tersebut, tapi biasanya kurang maksimal. Dan mengenai pembiayaannya, karena ini include dalam struktur kelembagaan pendidikan, maka disinergikan dengan RAPBS dengan anggaran relative sesuai kebutuhan.

A.          Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat perlu diberi ruang atau kesempatan dalam berpatisipasi untuk menentukan arah dan kebijakan pendidikan. Masyarakat dengan segala keberagamannya menempatkan wakilnya yang pilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki untuk duduk dalam lembaga Dewan Pendidikan atau komite sekolah yang telah terbentuk, untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan memikirkan berbagai strategi dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan sebagai wujud nyata partisipasi masyarakat.
Bagaimanapun besarnya upaya yang ditempuh kalau tidak melibatkan atau menggalang partisipasi masyarakat dapat dipastikan bahwa pencapaian tujun dan mutu pendidikan tidak akan maksimal. Karena masyarakat bukan hanya berfungsi sebagai subyek akan tetapi juga sebagai obyek yang sangat menentukan.
Adapun anggaran pembiayaannya adalah di sinergikan dengan anggaran belanja dalam RAPBS institusi pendidikkanyang dimaksud, apabila terkait langsung dengan program intitusi. Namun kegiatan  yang bersifat program masyarakat sendiri atau Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah  secara tidak langsung dalam rangka kepentingan pendidikan yang dimaksud adalah dengan mengalokasikan sendiri anggarannya diluar RAPBS yang biayanya bias didapat langsung dari masyarakat.


Daftar Pustaka

Ø  Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional,Bandung,PT Remaja Rosdakarya,2005
Ø  Materi Pelatihan, Desiminasi Komite Sokolah,AIP, Jember 2006
Ø  Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta ; Erlangga, 2007
Ø  Sumiharsono, Rudi, Manajemen Pembiayaan Pendidikan, Jember, Program pasca Sarjana STAIN, 2009




[1] Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional,Bandung,PT Remaja Rosdakarya, 202

[2] Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta ; Erlangga. 8
[3] Materi Pelatihan, Desiminasi Komite Sokolah,AIP, Jember 2006

Rabu, 18 Mei 2011

Wawancara Bersama Humas SMP Plus Darus Sholah Jember

Wawancara
Bersama Humas SMP-Plus Darus Sholah Jember
Ust. Zainul Hakim, S.EI, M.PdI

1.      Kita menyadari, bahwa partisipasi masyarakat (community participation) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah.
a.       Bagaimana konsep saudara tentang partisipasi masyarakat di bidang pendidikan?
Jawab:
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan merupakan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan mutu lulusan. Keterlibatan masyarakat dalam pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Carl A. Grant bahwa sekolah perlu melibatkan tiga hal terhadap masyarakat, ketiga hal tersebut yaitu, pertama pengembangan anggaran sekolah, kedua pemilihan pegawai sekolah, ketiga penetapan dan evaluasi kurikulum. 
b.      Bagaimana pendapat saudara tentang tingkat partisipasi masyarakat di bidang pendidikan dewasa ini? Jelaskan juga alasan saudara?
Jawab:
Saya melihat ada dua perbedaan  peranan/partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dewasa ini khususnya di Indonesia, yaitu: Pertama, rendahnya peranan/partisipasi masyarakat terhadap pendidikan hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat yang masih rendah pendidikannya, minimnya perekonomian masyarakat dan letak daerah pedesaan yang menganggap bahwa tugas pendidikan terhadap anaknya adalah tanggungjawab sekolah semata. Kedua, tingginya peranan/partisipasi masyarakat dalam pendidikan hal ini dikarenakan tingginya pendidikan masyarakat dan letak daerah perkotaan, serta tinnginya perekonomian masyarakat yang menyadari bahwa tugas pendidikan terhadap anaknya adalah tanggungjawab bersama anatar sekolah dan masyarakat.
Untuk menyiasati dua perbedaan itu dibutuhkan beberapa strategi pemecahannya, terutama dalam hal ini bagaimana upaya kita untuk melakukan komunikasi yang rasional dan realistis untuk memberikan umpan bagi upaya membangun inspirasi masyarakat untuk bersedia ikut serta berpartisipasi dalam membangun pendidikan minimal ditempat mana putra-putri mereka dididik.
2.      Tadi anda menyebutkan ada tiga bidang utama keikut sertaan atau partisipasi masyarakat dalam pendidikan yaitu: bidang pengembangan anggaran sekolah, pemilihan pegawai sekolah, serta penetapan dan evaluasi kurikulum.
Bagaimana implementasi ketiga bidang tersebut di atas, diikhtiarkan oleh lembaga pendidikan anda? Mungkin ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan?
      Jawab:
1)      Pengembangan anggaran sekolah
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang lebih mengetahui kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan kepada sekolah. Keterlibatan masyarakat dalam anggaran sekolah sebatas mengetahui secara global mengenai anggaran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Misalnya, pihak sekolah mengajak masyarakat dalam menyusun RAPBS untuk tahun yang akan datang, ikut terlibat dalam menyusun program-program pengembangan sekolah dan penjaminan mutu dll.  
2)      Pemilihan pegawai sekolah
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi, hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru dilakukan oleh pihak sekolah dengan melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan pegawai sangat dibutuhkan, karena sekolah itu milik masyarakat untuk masyarakat. Misalnya, komite sekolah yang lebih tahu tentang kondisi kemampuan pegawai itu sendiri yang akan menentukan kelangsungan dan kemajuan sekolah, diikutsertakan dalam menentukan, termasuk dalam pemilihan pegawai di sekolah tersebut.
3)      Penetapan dan evaluasi kurikulum.
Masyarakat diberi kewenangan untuk melakukan penetapan kurikulum sesuai dengan kebutuhannya, kebutuhan yang dimaksud misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Kurikulum yang bagus adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa di masyarakatnya. Oleh karena itu,  dalam menetapkan dan mengevaluasi kurikulum pihak sekolah harus melibatkan masyarakat.
b.      Dalam konteks system pendidikan di Indonesia? Bagaiman pandangan saudara?
Jawab:
Partisipasi masyarakat terhadap pendidikan, khususnya pada tiga bidang tersebut di atas, kiranya masih belum dilaksanakan secara maksimal apalagi daerah-daerah pedesaan, keterlibatan masyarakat terhadap sekolah sebatas pengembangan anggaran dana sekolah saja, sedangkan pemilihan pegawai sekolah, penetapan dan evaluasi sekolah masih belum dilibatkan. Munculnya MBS/MPMBS pada tahun 2002, sehingga muncul pula Komite Sekolah pada sekolah atau Komite Madrasah pada Madrasah sebagai mitra kerjasama sekolah dengan masyarakat serta dengan munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 secara tidak langsung kedua system tersebut memberikan keterlibatan kepada masyarakat semakin lebih besar. 

3.      Pada beberapa negara kita menjumpai beberapa Organisasi Profesi Guru, seperti PGRI (di Indonesia) atau NEA (di AS). Seberapa besar peranan organisasi tersebut dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pendidikan, dan mendorong masyarakat dan orang tua murid dalam keikut serta memecahkan permasalahan-permasalahan pendidikan?
      Jawab:
Ø  Carl A. Grant dalam bukunya Community Participation in Education mengatakan bahwa Organisasi guru professional memiliki peran untuk mendorong kepada masyarakat keikut sertaannya dalam mengendalikan pendidikan, baik dalam penentuan tujuan umum sekolah, penetapan tentang pendukungan keuangan, melalui dewan sekolah lokal sebagai suatu fungsi publik. Nah disinilah tugas yang mestinya diemban oleh Asosiasi-asosiasi  Pendidikan tersebut. Karena itu ia harus mempromosikan pemahaman pendidikan kepada masyarakat dan mendorong masyarakat luas, serta orang tua siswa dalam keikutsertaan berkenaan dengan memecahkan permasalahan pendidikan dan bahwa suatu wakil dewan tidak memihak pendidikan pada setiap daerah sekolah yang  mempunyai tanggung jawab untuk mempromosikan pemahaman publik sekolah
Ø  Adapun langkah-langkah yang memungkinkan untuk dilakukan oleh organisasi profesi guru itu antara lain berupa; pengembangan anggaran sekolah; pemilihan personil, penyebaran, dan evaluasi; dan penentuan kurikulum.
b.      Bagaimana pendapat saudara peranan PGRI, dalam hal ini sebagai Organisasi Profesi Guru di Indonesi, dalam meningkatkan partisipasi masyarakat bidang pendidikan, serta kendala-kendala utama yang dihadapi?
Jawab:
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mempunyai peran terhadap pendidikan sebatas kebijakan-kebijakan pendidikan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dibidang pendidikan. Terdapat dua peran PGRI dalam pendidikan, pertama PGRI memiliki peran untuk memberdayakan para guru sehingga kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh para guru dalam proses belajar mengajar dapat diberi jalan keluarnya oleh PGRI. Kedua, PGRI berperan dalam menentukan kebijakan pendidikan yang melibatkan masyarakat, sebagaimana kasus di Malang kemarin, mengenai pemberhentian Kepala Dinas Kabupaten Malang, dikarenakan kurang kompetensi dibidang pendidikan dan kurangnya keberpihakkan kepada masyarakat. Melainkan kendala yang dihadapi oleh PGRI dalam mendorong partisipasi masyarakat adalah sistem organisasi yang tidak independen sehingga peran PGRI tidak terlalu bebas dan dibatasi oleh peraturan-peraturan yang ada di organisasi.
4.      Ada satu hal lagi Ustadz yang ingin kita coba tanyakan yaitu tentang desentralisasi bidang pendidikan, apakah hal ini lebih menjanjikan manajemen sekolah menjadi lebih efektif dan reponsif? Dan sekaligus mampu memunculkan proses pengambilan keputusan partisipatif yang memungkinkan masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah?
Bagaimana pendapat anda tentang salah satu fungsi partisipasi mayarakat sebagai social controller idi  bidang pendidikan?
Jawab:
Social controller (kontrol masyarakat) yaitu masyarakat melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
Contoh:
Masyarakat melakukan evaluasi terhadap proses belajar mengajar dan mengawasi kebijakan yang ditetapkan kepala sekolah.
b.      Bagaimana pendapat saudara terhadap peranan masyarakat tersebut di atas, khususnya kemungkinan-kemungkinan keuntungan dan kelemahan dalam pelaksanaannya di sekolah?
Jawab:
Keuntungan dan kelemahan dalam pelaksanaannya di sekolah atas sosial kontrol adalah sebagai berikut:
1)      Keuntungan
Ø  Penentuan sosial kontrol dilihat dari substansi masalahnya jika obyektif, akan diterima oleh sekolah sebagai hal yang konstruktif, terlebih jika situasi dan kondisi sekolah ikut menunjang.
Ø  Sosial kontrol sebagai bahan evaluasi program-program sekolah untuk di tahun berikutnya.
2)      Kelemahan
Ø  Tidak ada tindak lanjut atas kontrol masyarakat oleh sekolah.
Ø  Kurang berkembang budaya demokratis di sekolah tersebut, sehingga adanya kontrol sosial masyarakat sekolah cenderung membela diri dengan hak jawab untuk menutupi kekurangan dan kelemahannya.

5.      Sebagai partner sekolah, Komite Sekolah memiliki peran sebagai advisory agency, supporting agency, controlling agency, dan mediation agency.
a.       Uraikan secara singkat peran Komite Sekolah tersebut di atas, serta lengkapi dengan contoh-contoh?
Jawab:
1)      Advisory agency, yaitu memberikan masukan pertimbangan dan rekomendasi kepada satuan pendidikan (sekolah) dalam penentuan pelaksanaan kebijakan program pendidikan, Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS),  kriteria kinerja satuan pendidikan, kriteria tenaga kependidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
Misalnya, Komite Sekolah dala hal ini masyarakat memberikan usulan untuk pengadaan sarana-prasaran dalam menunjang proses belajar mengajar siswa.
2)      Supporting agency, yaitu mendorong orang tua, masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Misalnya masyarakat menggalang dana pembiayaan penyelanggaraan pendidikan.
3)      Controlling agency, yaitu masyarakat melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan. Misalnya, Komite Sekolah mengevaluasi setiap bulan sekali mengenai keberhasilan proses belajar mengajar.
Ø  Mediation agency yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat, menampung dan menganalisa aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. Misalnya pihak sekolah mengusulkan pengajaran sejarah didatangkan gurunya dari salah satau orang tua siswa yang berkompeten dalam bidang tersebut.Komite Sekolah.
b.      Bagaimana pendapat saudara tentang kinerja Komite Sekolah dewasa ini, khususnya hambatan-hambatan yang dihadapi serta cara-cara penanggulangan yang harus dilakukan?
Jawab:
Kiprah komite sekolahdewasa ini berdampak positif terhadap kinerja sistem pendidikan nasional, khususnya pada operasional pendidikan disatuan pendidikan atau sekolah. Komite sekolah menyentuh seluruh aspek kinerja dalam kaitan dengan keberhasilan sistem pendidikan nasional khususnya ditingkat satuan pendidikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap Komite Sekoilah sebagai kendala yang utama dalam perannya terhadap pendidikan. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pihak sekolah, yaitu: memberikan pemahaman mengenai peran dan tugas Komite Sekolah dengan cara sosialisasi saat rapat.

METODOLOGI PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN

FILSAFAT ILMU
METODOLOGI PEMIKIRAN DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN
FENOMENOLOGI
Oleh : Zainul Hakim, S.EI, M.PdI

A.    PENDAHULUAN
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, tidak saja pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta obyektif. Jika faktanya adalah “Gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika. Nah dalam hal ini yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pada pola pikir positivisme yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmi-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial.[1]
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’
 peran sabyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.[2] Tulisan berikut ini lebih akan memfokuskan pada kajian metode fenomenologi.  
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl, yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek harus melepaskan atau – menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda kurung semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini disebutnya epoche. Melaui proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur semantaranya yang tidak hakiki. sehingga tinggal eidos (hakikat obyek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran. Jelaslah disini bahwa fonomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstuksi spekulatif di dalam budi. Bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Dengan segera fonomenologi memperoleh pamor yang sangat luas. Hal ini karena fonomenologi tidak mengajukan suatu sistem pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara, atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi dapat digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi dan studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada obyek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat obyeknya, sebagaimana ia menampakkan diri dalam kesadaran.[3]
Metode fonomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai gejala-gejala yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermagsud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fonomenologi bukanlah sekedar deskriptif atau normatif belaka, tetapi metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari sutu fenomena.
 
B.     PENGERTIAN
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainesthai yang berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”.[4] Pada literatur lain ia berasal dari kata Yunani phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah  gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[5]
Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938]., meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf sebelumnya.[6] Namun dialah yang kemudian dikenal sebagai  pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sachen [to the things].[7] kembali kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa  “Benda-benda” di beri kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “Benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “Benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi “Benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat sendirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu; karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka di perlukan pemikiran ke dua (second look). Alat yang di gunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau, melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[8]
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya”.[9] Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari  sikap fenomenologi bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.[10]
C.    BAGAIMANA PENDEKATAN REDUKSI BEKERJA
Ada tiga reduksi yang di tempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1.reduksi fenomenologis.
2.reduksi eidetis.
3.reduksi fenomenologis-transendental’
1.      Reduksi fenomenologis
Fenomena seperti di sebut  di atas adalah menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari,kita tidak memperhatikan penampakan itu.Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata. kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang di tuju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yan ada di luar dirinya dan ini hanya dapat di capai dengan”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di tinggalkan atau di buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah    membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini di sebut fenomenologis.[11]
Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.
2.      Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi ke dua ini adalah penilikan realitas.[12] Dengan reduksi eidetis, semua segi,aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang di cari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representstif melukiskan fenomena. Kemudian di kurangi atau di tambah salah satu sifat.[13] pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3.      Reduksi Fenomenologi-Transendental
Di dalam reduksi ini yang di tempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri.[14] Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek ,atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah  fakta kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. kesadaran yang di temukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku didalam aktrus-aktrus dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental .[15]
Dalam hal ini ”aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek- objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya,sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya bagi seorang yang tetap hidup di hutan, atau dalca tidak akan di pahami maknanya kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan. Objek yang di dasari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu untuk menghindari ini. Husserl membuat reduksi, lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia mamnusia umum).12 Dengan reduksi ini, apa yang disadari  adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “ aku “ transendental antar  subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transendental seperti digambarkan diatas. Dan diceritakan bahwa hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun semula, bagaimana jalan keluar yang ditempuhnya dalam menyelesaikan masalah itu sampai akhir hayatnya, tidak jelas.
Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkna idealisme Transendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama.14 Kita harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangan besar pengaruhnya didalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini digunakan dalam  ilmu – ilmu sosial dan matematika. J.F.Donceel, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia didalam bukunya ,philisiphical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan pendekatan fenomenologidalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaa- kebudayaan dan agama.15

D.    SEBUAH  ILUSTRASI  FENOMENOLOGIS
Sebuah cerita dari James Horriot (Jangan Bangunkan Dokter Hewan Yang Tidur, London 1973). Salah satu episode dalam buku ini melukiskan perubahan besar dalam hidup seorang Petani inggris waktu sebuah zaman menggantikan kuda dengan traktor dan truk. Sebelum terjadi mekanisasi pertanian, kandang penuh dengan kuda-kuda yang kuat dan hidup banyak orang-orang bujang yang bekerja ditempat pertanian yang sebagian besar diisi dengan mengurus kuda yaitu memberi makanan, membersihkan kandang, mengawinkan, menolong kelahiran dan sebagainya, sebuah usaha yang amat berat tetapi memuaskan. Terlebih lagi jika digelar pesta-pesta pertandingan dan perlombaan pacuan kuda. Kuda dihiasi di bawa ke alun-alun, diperiksa, dipacukan dan kemudian diberikan hadiah.
James Horriot memulai ceriteranya sesudah terjadi revolusi tekhnologi. Dalam sebuah kandang yang dahulu dipenuhi oleh binatang-binatang kuda yang mulia, saat ini hanya tersisi satu kuda saja. Hewan yang sudah tua-renta, sakit-sakitan sampai-sampai pemiliknya tidak sampai hati membawanya ketukang potong hewan karena masih ada  an old farmhand seorang bujang tua yang tidak bisa memisahkan diri dari teman seumur hidupnya itu. Kemudian didatangkanlah tiga orang dokter hewan. Seorang dokterhewan tanpa hati (robot), seorang dokter hewan yang masih manusia dan satu lagi seorang dokter yang ahli fenomenologi.
Bagaimana cara kerja tiga dokter hewan ini saat dihadapkan pada kuda tua renta itu? Dokter hewan tanpa hati akan memeriksa kuda tua yang sakit itu dengan pandangan bahwa kuda itu bukan hal lain dari sebuah organisme  yang terdiri dari tulang, otot, saraf, darah dan kulit sehingga dia tidak bisa memberi keputusan lain kecuali kudi ini sudah harus mati. Ilustrasi diatas merupakan sutu contoh reduksi biologi. Berbeda dengan seorang dokter hewan dengan hati seperti dilukiskan James Herriot. Dokter itu mengerti bahwa kuda ialah kuda ialah kuda. dengan penuh rasa kasihan ia menobati pasiennya, berusaha supaya makhluk yang tua dan sakit menjadi sembuh kembali karena ia tahu bahwa dia teman seumur hidup dari Mr. Cliff seorang buruh pertanian yang masih hidup dalam dunia kekudaaan mulia, dengan pesta-pesta, perlombaan dan suka duka yang dialami di dalam dunia pergaulan manusia dan kudanya.
Lain lagi pada saat seorang dokter yang fenomenolog. Pada saat dia berdiri didepan kuda dia insaf bahwa tidak ada obyek tanpa sabyek dan benda yang ada ialah selalu benda yang saya lihat, benda yang saya dengar, meraba, atau menempatkan dalam sutu ruang. Sampai disini jelaslah bahwa perbedaan dokter hewan robot dan dokter hewan dengan hati letaknya adalah pada reduksi. Kuda mulia, teman seumur hidup direduksikan menjadi organisme yaitu rangka yang diisi daging. Reduksi sang fenomenolog lebih hebat lagi, dia tidak memikirkan soal apakah diluar kita ada kuda atau tidak. Tetapi ia hanya akan melukiskan apa yang dialami yaitu kuda sebagai warna, cahaya, ukuran, bunyi dan cahaya. Hal terakhir bukanlah kacamata seniman, dan perbedaannya begitu sulit ditangkap sehingga untuk mencari penjelasannya kita harus mendengar suara dari seorang filsuf Jerman abad yang lalu yang pengaruhnya tidak kalah dengan pengaruh Plato yaitu: George Wilhelm Friedrich Hegel.[16]
Dapat juga dikemukakan contoh dari bayak sekali fenomena keagamaan yang kita saksikan ditengah masyarakat, yang semula ia sebagai tradisi kemudian berkembang menjadi suatu budaya yang memebentuk sistem kepercayaan. misalnya mengapa seseorang memasang sesaji, mengapa seseorang mempersembahkan kurban untuk para dewa, atau dalam Islam kurban sebagai syari’at penyembelihan hewan yang “nilai kesediannya”dipersembahkan untuk Alloh SWT. Dan nilai obyeknya diberikan kepada sesama manusia.      
Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama itu sendiri dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti do’a upacara-upacara  dan sikap-sikap religius yang lainnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan dengan yang suci, makhluk-makhluk supranatural, dewa-dewa dan sebagainya. Penyelidikan ilmiah terhadap fonomena agama ini meski dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka.[17], Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan dijadikan data dalam mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.
Sejarah agama telah mencatat telah memperoleh manfaat dari penyelidikan ilmu-ilmu diatas. Ilmu-ilmu ini telah dan masih terus membawa sumbangan yang berarti untuk studi agama, dimana data dan kesimpulannya menolong para sejarawan agama untuk memahami kontek hidup dari sumber-sumbernya sebab tidak ada fakta keagamaan yang benar-benar “murni”. Setiap fakta keagamaan juga bersifat social psikologis atau cultural. Akan tetapi kekacauan dalam hal batas jangkauan dan metode dari ilmu-ilmu ini hanya akan membawa pada reduksinisme, yakni teori yang hanya akan merendahkan agama menjadi semacam epifenomen dari struktur social, psikologia atau social. Teori-teori reduksionis semacam ini telah diajukan oleh sosiolog seperti Durkheim, oleh psikolog seperti Freud dan oleh sejumlah etnolog, baik yang bersifat evolusionis maupun difusionis. Sejarawahn agama mempertimbangkan fonomena agama sebagai agama yang khas dan memusatkan perhatiannya pada makna keagamaan dari fenomena yang diperlihatkan oleh ilmu-ilmu tersebut.[18]  
E.     KESIMPULAN
1.      Tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’peran sabyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.
2.      Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938].,Inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada obyek “benda-benda” sendiri, bukan pada interpretasi yang muncul dari subyek penelitinya semata.
3.      Dalam Epistimologinya, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yaitu satu prinsip yang mendasari  sikap fenomenologi bersikap netral. Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah  fakta kesadaran sendiri.
4.      Fenomenologi Pada penelitian modern dan penyelidikan ilmiah, misalnya terhadap fonomena agama, maka yang meski dilakukan oleh seorang peneliti adalah mengelaborasi penelitiannya dengan berbagai disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka, Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan dijadikan data dalam mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens K., Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta : PT. Gramedia, 1981)

Bakker Anton, Metode-metode filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984)

Bronwer M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung : Alumni, 1980)

Dhavamony,  Mariasusai, Fenomenologi agama, (Yogyakarta : Kanisius 1995)

Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan,   (Yogyakarta, Belukar  2006)

Hadiwidjono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980)
Hamersma Harry, Tokoh-tokoh filsafat Barat Modern, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983)

[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan,   (Yogyakarta, Belukar  2006), 124
[2] Ibid, 126-127
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi agama, (Yogyakarta : Kanisius 1995), 6
[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, 127
[5] K. Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta : PT. Gramedia, 1981), 109
[6] Istilah tersebut telah dikenal sejak abad ke-18. Lembert dalam bukunya: Neue Organon (1764) yang memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan fundamental terhadap semua pengetahuan empirik. Immanuel kant (1724-1804) menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phenomenon untuk pemahaman terhadap realitas itu pada kesadaran. Hegel (lahir 1770) memberi arti lain, yakni conversant mind (pengetahuan tentang pikiran). Menurut Hegel, jika kita menganggap pikiran semata-mata dengan pengamatan dan pengenerralisasian sebagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita memiliki satu bagian dari pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind. Moritz Lazarus dalam bukunya leben der seele (1856-1857) membedakan istilah fenomenologi dengan psikologi. Yang pertama menggambarkan kehidupan mental dan yang terakhir disebut mencari penjelasan kausal pada kehidupan mental.  
[7]Harry Hamersma, Tokoh-tokoh filsafat Barat Modern, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), 116.
[8] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984),113-117
[9] M.A.W. Bronwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung : Alumni, 1980), 52.
[10] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 112
[11]M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman , 52
[12]Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980), 143
[13] Anton Bakker, Metode-metode filsafat , 116
[14] Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 144  
[15] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 117, Baca juga M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat, (Jakarta: PT.Pembangunan,T.th), 102.
[16] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, 3-4

[17] J. Wach, Sosiologi of Religion, (Chicago, 1943), 11 yang dimuat pada Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama”, (Yogyakarta, Kanisius 1995), 21
[18] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama”, (Yogyakarta, Kanisius 1995), 25

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates